Reformasi Hukum Indonesia : Pembelajaran dari Praktik Insanity Defense di Amerika Serikat
Oleh : Vellysyen (Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Diponegoro – 14050122120030)
Hukum merupakan aturan-aturan yang mengikat dan menjadi dasar dalam keberjalanan suatu masyarakat.
Penegakkan hukum di suatu negara sangat penting untuk menjaga harmonisasi dan juga kehidupan masyarakat secara umum. Hukum pidana merupakan cabang hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dengan ancaman sanksi pidana bagi pelaku, karena dianggap merugikan masyarakat atau negara secara keseluruhan.
Dalam penegakkan hukum pidana, sebelum menjatuhkan hukuman pada terdakwa, terdakwa harus melalui proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan, dan ketika sudah terbukti bersalah, maka akan dijatuhkan putusan hukum. Namun sebelum mencapai putusan, penegak hukum wajib melakukan proses yang panjang dalam mengetahui motif dari tindakan yang dilakukan oleh pelaku.
Hal yang perlu dipahami adalah tidak semua pelaku memahami tindakan mereka maupun konsekuensi dari tindakan yang mereka lakukan.
Di negara-negara besar, terdapat hukum khusus yang melindungi hak-hak dari masyarakatnya yang memiliki kelemahan psikologi atau perlindungan dari hukum terhadap pelaku tindakan kriminal yang memiliki kekurangan psikologis tertentu maupun gangguan jiwa tertentu.
Salah satu penerapan dari perlindungan ini adalah “Insanity Defense” oleh Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Insanity defense merupakan perlindungan hukum dengan gagasan bahwa terdakwa tidak mampu memahami sifat dari kejahatan yang dilakukan atau membedakan antara benar dan salah pada saat kejahatan terjadi. Penerapan dari Insanity defense di AS, Inggris, dan Australia didasarkan pada M’Naghten Rules yang berasal dari Inggris tahun 1843.
Berdasarkan M’Naghten Rule, terdakwa dianggap tidak bertanggung jawab secara hukum jika : (1) tidak memahami sifat atau kualitas dari tindakannya; (2) tidak mengetahui bahwa tindakannya salah karena gangguan mental. Penerapan dari Insanity defense ataupun M’Naghten Rules ini cukup banyak diperdebatkan dan masih banyak negara yang menolak keberadaannya. Artikel ini akan membahas pentingnya penerapan hukum seperti Insanity defense ataupun psikologi forensik lainnya dalam hukum Indonesia.
Di dalam hukum Indonesia sendiri sudah terlihat penerapan perlindungan terhadap masyarakat yang memiliki kekurangan mental atau jiwa tertentu. Hal ini dapat dilihat adanya alasan pembenar. Alasan pembenaran adalah alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum suatu perbuatan pidana, yang dilihat dari sisi objektif perbuatannya.
Beberapa alasan pembenar yang diatur dalam KUHP antara lain Pasal 48 (keadaan darurat), Pasal 49 ayat (1) (pembelaan terpaksa), Pasal 50 (peraturan perundang-undangan), dan Pasal 51 ayat (1) (perintah jabatan). Kedua, alasan pemaaf adalah alasan yang menghapuskan kesalahan pelaku, meskipun perbuatannya tetap melawan hukum. Selain itu, terdapat juga alasan pemaaf, yang dimuat dalam KUHP dalam Pasal 44 (tidak mampu bertanggung jawab), Pasal 49 ayat (2) (pembelaan terpaksa lampau), dan Pasal 51 ayat (2) (melaksanakan perintah jabatan dengan itikad baik yang tidak sah). Namun penerapannya sendiri masih kurang maksimal dan perlu penegakkan hukum yang lebih kuat dalam melindungi masyarakat yang memang memiliki keterbelakangan dalam memahami perbuatannya dan membedakan benar dan salah.
Salah satu contoh kasus yang membuktikan kurangnya penegakkan dan pemahaman atas KUHP Pasal 44 atau Insanity Defense adalah kasus yang terjadi di tahun 2019 di Masjid Al Munawaroh.
Seorang wanita dengan inisial SM tanpa melepaskan alas kaki dan membawa seekor anjing bersamanya masuk ke dalam Masjid tersebut. Ketika ditegur oleh pihak keamanan Masjid, SM pun semakin marah bahkan sampai menyerang salah satu anggota keamanan tersebut. Kemudian polisi pun datang dan membawa SM ke Polres Bogor. Pada awalnya, SM yang telah dibawa ke Polres, dirujuk ke RS Polri Kramat Jati untuk menjalani pemeriksaan kejiwaan lebih lanjut. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa SM mengalami gangguan jiwa berat yang mempengaruhi tindakannya pada saat kejadian. Namun, proses hukum terhadap SM tetap berjalan.
Setelah mempertimbangkan hasil evaluasi psikiatris, jaksa memutuskan untuk tidak melanjutkan proses hukum dan kasus pun ditutup dengan alasan bahwa SM tidak mampu bertanggungjawab atas perbuatannya. SM kemudian dirujuk untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut di fasilitas kesehatan jiwa.
Kasus SM menunjukkan pentingnya pemahaman yang lebih baik tentang kondisi kejiwaan terdakwa dalam sistem hukum. Lambatnya proses evaluasi dan penanganan mencerminkan tantangan dalam mengimplementasikan Pasal 44 KUHP untuk melindungi individu dengan gangguan mental. Sistem hukum perlu memastikan bahwa pelaku dengan gangguan jiwa mendapatkan perlakuan yang sesuai, baik dari segi hukum maupun medis.
Hal penting yang perlu diperhatikan dari kasus SM adalah sikap masyarakat terhadap SM yang mencela SM dan pihak yang berwajib karena “melepaskan” SM begitu saja.
Masyarakat cenderung berpikir bahwa keadilan tidak ditegakkan dengan baik dalam kasus ini. Penulis menyarankan adanya reformasi dalam hukum Indonesia terkait perlindungan terhadap warganya yang memiliki gangguan jiwa tertentu. Reformasi hukum Indonesia terkait insanity defense membutuhkan pembaruan yang lebih komprehensif untuk memastikan perlindungan hukum terhadap terdakwa dengan gangguan jiwa.
Salah satu langkah utama adalah standarisasi penilaian kejiwaan. Proses evaluasi kesehatan mental harus dilakukan oleh tim psikiater independen dengan metode yang diakui secara global, seperti M’Naghten Rule atau Model Penal Code, yang menilai kemampuan terdakwa dalam memahami sifat perbuatannya atau membedakan antara benar dan salah. Standar ini harus dituangkan secara rinci dalam peraturan untuk menghindari penilaian yang subjektif dan memperkuat keabsahan keputusan hukum.
Selain itu, diperlukan pembentukan jalur khusus dalam sistem peradilan, seperti mental health court, yang fokus pada rehabilitasi terdakwa dengan gangguan mental alih-alih menjatuhkan hukuman pidana konvensional. Diversi semacam ini memungkinkan terdakwa mendapatkan perawatan yang tepat sambil tetap menjaga hak korban. Aparat penegak hukum juga harus mendapatkan pelatihan tentang pengelolaan kasus yang melibatkan terdakwa dengan gangguan jiwa, sehingga mereka memahami prinsip insanity defense secara mendalam. Penguatan Pasal 44 KUHP juga perlu dilakukan dengan merevisi dan mengharmonisasikan peraturan yang ada. Definisi gangguan mental yang relevan harus diperjelas, termasuk prosedur asesmen dan institusi yang berwenang untuk menangani kasus ini.
Pasal tersebut dapat diperkuat dengan mengadopsi konsep Not Guilty by Reason of Insanity (NGRI), di mana terdakwa yang dinyatakan tidak bersalah karena gangguan mental tetap diwajibkan menjalani rehabilitasi hingga dianggap tidak membahayakan masyarakat. Langkah ini memastikan keseimbangan antara perlindungan hukum bagi terdakwa dan keamanan publik. Kolaborasi antara pemerintah, lembaga kesehatan, dan sistem hukum diperlukan untuk memastikan implementasi kebijakan ini berjalan efektif. Pengadaan layanan psikologi forensik sebagai bagian dari sistem peradilan juga akan menjadi kunci untuk memberikan analisis profesional yang mendukung proses hukum. Dengan reformasi ini, sistem hukum Indonesia dapat lebih adaptif dalam menangani kasus yang melibatkan terdakwa dengan gangguan mental, memastikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.(*)