DAERAHOPINI

Rekrutmen SPPI : Jalan Tengah Atau Pelanggaran Semangat Reformasi ASN ?

Oleh : Ramon Azmi Pratama, SH (Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik

Sejak diberlakukannya larangan pengangkatan tenaga honorer oleh pemerintah, publik berharap dunia birokrasi Indonesia akan bersih dari praktik pegawai kontrak tanpa kejelasan status. Namun harapan itu kembali diuji oleh munculnya program Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI).

SPPI secara konsep adalah program rekrutmen sarjana untuk terjun langsung dalam pemberdayaan masyarakat dan pembangunan desa. Sekilas terlihat mulia, tetapi dari kacamata hukum kepegawaian, muncul pertanyaan mendasar: apakah program ini sah dalam kerangka reformasi ASN?

Celah di Balik Larangan

Pemerintah melalui PP No. 49 Tahun 2018 dan surat edaran MenPAN-RB secara tegas melarang pengangkatan pegawai non-ASN di luar PNS dan PPPK setelah 28 November 2023. Tujuan kebijakan ini jelas: menghentikan praktik kerja tanpa kepastian hukum dan menjamin hak-hak dasar pegawai pemerintah.

Namun dalam praktiknya, SPPI justru menjadi “jalan tengah” yang melanggengkan pola rekrutmen tenaga non-ASN. Meski disebut bukan pegawai, para peserta SPPI menjalankan tugas negara, diberi insentif, tunduk pada perintah struktural, bahkan bekerja penuh waktu. Hanya saja, secara administratif mereka tidak dicatat sebagai pegawai instansi.

Inilah bentuk manipulasi regulasi yang dilakukan secara sadar oleh pemerintah. SPPI hadir sebagai solusi instan untuk menambal kekurangan SDM tanpa harus membuka formasi ASN. Praktik ini memang “legal secara teknis”, tetapi membahayakan secara etis dan konstitusional.

Ketimpangan dan Kerentanan

Kritik berikutnya terletak pada posisi hukum peserta SPPI. Mereka tidak memiliki jaminan sosial jangka panjang, tidak masuk database ASN nasional, dan tidak dijamin pengangkatan sebagai PNS maupun PPPK di masa depan. Dalam bahasa sederhana: mereka adalah “honorer berganti nama”.

Jika kebijakan ini terus dipertahankan, maka upaya menyudahi era honorer hanyalah gimik administratif tanpa komitmen moral. Lebih ironis lagi, pemerintah seperti mengulang kesalahan masa lalu yang melahirkan ratusan ribu tenaga honorer “titipan proyek”.

Rekomendasi

Penugasan berbasis proyek semacam SPPI sebaiknya tidak dijadikan pola tetap. Pemerintah harus berani menempuh jalur hukum yang benar dengan:

  • Mengalokasikan formasi ASN berbasis kebutuhan lapangan,
  • Menghentikan seluruh bentuk rekrutmen tenaga non-ASN yang menyamar sebagai program pembangunan,
  • Serta memastikan bahwa setiap SDM yang bekerja untuk negara mendapatkan perlindungan hukum, status, dan kesejahteraan yang adil.

Bila pemerintah benar-benar ingin membangun desa dan memperkuat kapasitas masyarakat, maka solusinya bukan dengan melahirkan SPPI, tapi dengan memperkuat rekrutmen ASN berbasis merit dan kebutuhan nyata.

Tentang Penulis:

Ramon Azmi Pratama, S.H. adalah sarjana hukum lulusan Universitas Jambi yang aktif dalam dunia advokasi, pendampingan masyarakat, dan pengkajian kebijakan publik. Saat ini berdomisili di Kota Sungai Penuh, Jambi. Fokus kajiannya adalah hukum pidana, hukum tata negara, administrasi publik, dan kebijakan pemerintahan desa. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *