Panggung Amal dan Pameran Karya Korban Kekerasan seksual
• Suara Korban Kekerasan Seksual, Suara Keadilan
Jambi, Mediator
Beranda Perempuan bekerjasama dengan RRI, Kompas, Go Nau, FPJ, Tribun, FMN menggelar Panggung Amal dan Pameran Karya Korban kekerasan seksual yang diadakan tanggal 15-16 Desember 2022 di Taman Budaya Jambi.
Sebanyak 30 korban kekerasan seksualmeyumbang Fhoto, Pakaian, Tulisan, Gambar sebagai media bagi korban untuk meyuarakan beban trauma dan harapan mereka terhadap akses keadilan yang masih sulit untuk diraih.
Dalam dua hari, Pameran yang dikurasi oleh Cinema Sutha UIN Jambi ini berhasil menarik minat sekitar 200 pengunjung. Beberapa pengunjung yang datang melihat pameran tersebut terlihat terharu bahkan menitikkan air mata. Mereka tidak bisa menahan rasa harunya ketika menyaksikan keterangan baju-baju korban dan juga fhoto-fhoto korban.
Hari kedua, Pameran dan Panggung Amal kekerasan seksual ini diisi dengan diskusi film catatan pendamping karya dari aqila., salahsatu anggota Sinema Sutha. Film ini menceritakan tentang suka duka yang dihadapi oleh 4 relawan yaitu Novi, Ani, dan Risma.
“ Saya mendampingi korban hampur 2 tahun. saya banyak belajar menjadi kuat dari pengalaman hidup korban-korban yang saya dampingi,” ungkap Ani.
Novi selaku narasumber dalam diskusi film tersebut mengatakan, jika tertarik ingin menjadi pendamping, kita harus memastikan bahwa kita sendiri benar-benar siap menjadi pendamping sehingga ketika berhadapan dengan korban kita lebih kuat.
Setelah kegiatan Nobar film Catatan Pendamping. Kegiatan dilanjutkan dengan sesi diskusi tentang Kode etik peliputan korban kekerasan seksual yang disi oleh Irma Tambunan jurnalis Kompas dan Yusnaini. Dan kemudian ditutup dengan Menganyam resam bersama peyintas kekerasan seksual.
Direktur Beranda Perempuan, Zubaidah menyampaikan melalui pameran ini pihaknya memberikan ruang untuk penyintas kekarasan seksual menyampaikan suaranya.
“Selama ini kita hanya melakukan aksi demo dan protes, tetapi ternyata ketika kita melakukan pendampingan dengan berkarya, itu bermanfaat bagi mereka,” ujarnya.
Zubaidah berharap pengunjung pameran itu terdorong untuk memahami apa yang sudah dialami para penyintas kekerasan seksual.
“Jadi, ada sensitivitas dan memahami bahwa ternyata trauma yang dialami korban tidaklah ringan. Beberapa caption menjelaskan setiap malam korban harus berteriak,” ungkapnya.
Beranda Perempuan pun melawan anggapan bahwa kekerasan seksual terjadi karena pakaian korban.
“Display baju-baju korban kekerasan seksual ini sebagai pengingat, tidak meyalahkan pakaian korban. Perkosaan terjadi bukan karena pakaian tetapi karena niat dan motif pelaku untuk menyerang tubuh perempuan.
“Kekerasan seksual itu memang karena keinginan dan motif pelaku,” ujar dia.
Ia pun mengungkapkan bahwa norma yang tumbuh di tengah ada kalanya tidak mendukung korban. Tetapi, justru membuat korban semakin kesulitan untuk pulih dari traumanya.
“Pameran ini dilakukan sebagai upaya mendekatkan kepedulian masyarakat untuk memahami beban trauma korban dan mendukung perjuangan korban untuk mendapatkan keadilan,” ujarnya.
Pengunjung bisa melihat benda dan tulisan yang dipajang di dalam ruangan tersebut, berisikan karya para penyintas, berupa lukisan. Pakaian milik korban juga ditunjukkan di sana. Pakaian yang tergantung di dinding ini, bukanlah pakaian yang terbuka, tetapi baju perempuan yang cukup tertutup.
Di ruangan ini pula ada tulisan curahan korban kekerasan seksual. Mereka pun menceritakan bentuk kekerasan seksual yang menimbulkan trauma berat.
(*)
