Sempat Membaik, Harga Sawit Kembali Terjun Bebas
Jambi, Mediator
Pasca pencabutan larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya pada 23 Mei lalu, harga sawit terkerek naik perlahan-lahan hingga menyentuh kisaran angka Rp 1.800 perkilonya. Namun saat ini harga sawit kembali terjun bebas dikisaran harga seribu rupiah. Petani pun kembali bersiap “gantung dodos” berharap harga kembali naik.
Panitia Penetapan Harga TBS Sawit Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, Putri Rainun, melalui keterangan persnya merilis harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) di Jambi pada periode 10-16 Juni 2022 kembali mengalami penurunan senilai Rp331 dari Rp11.070 menjadi Rp10.739 per kilogram, sedangkan Tanda Buah Segar (TBS) sawit juga turun Rp99 dari Rp2.040 jadi Rp1.941 per kilogram.
“Sementara itu untuk harga inti sawit pada periode kali ini juga mengalami penurunan Rp25 dari Rp6.537 per kilogram menjadi Rp6.512 per kilogram,” kata dia dalam rilisnya.
Penetapan harga CPO, TBS, dan inti sawit, merupakan kesepakatan tim perumus dalam satu rapat yang dihadiri para pengusaha koperasi dan kelompok tani sawit setempat dan berdasarkan peraturan menteri dan peraturan gubernur.
Berikut selengkapnya, harga TBS untuk usia tanam tiga tahun yang ditetapkan untuk periode kali ini adalah Rp1.941 per kilogram, usia tanam 4 tahun Rp2.061 per kilogram, usia tanam 5 tahun Rp2.157 per kilogram, usia tanam 6 tahun Rp2.248 per kilogram, dan usia tanam 7 tahun Rp2.305 per kilogram.
Kemudian untuk usia tanam 8 tahun senilai Rp2.353 per kilogram, usia tanam 9 tahun Rp2.400 per kilogram, usia tanam 10 sampai dengan 20 tahun Rp2.471 per kilogram, usia 21 hingga 24 tahun Rp2.395 per kilogram dan di atas 25 tahun Rp2.283 per kilogram.
Kondisi ini membuat sejumlah petani kembali mengeluh dan terpaksa kembali “gantung dodos” agar tidak mengalami kerugian yang lebih besar lagi.
“Harga sawit sempat membaik pasca pencabutan larangan eksport , sekarang kembali turun, padahal kita butuh uang untuk menghadapi hari raya Qurban. Belum lagi kita juga harus bayar upah potong, angkut-angkut dan juga bensin mobil. Semua kan mau lebaran, sementara sawit dak ada hargonyo. Sementara harga-harga kebutuhan pokok justru naik. Double mumet lah,” kata Muhammad, warga Sekernan, sembari tersenyum kecut.
Untuk menekan kerugian yang lebih besar, Muhammad berserta petani sawit lainnya akhirnya membiarkan buah kelapa sawit rontok di batang alias tidak di panen.
“Kemarin harganya memang sudah mulai naik tapi belum cocok hanya habis untuk biaya panen saja. Jadi kami belum lagi panen. Tunggu sampai harga dua ribuan seperti didaerah lain, baru kami mulai panen lagi,” katanya.
Tidak hanya petani, keluhan juga datang dari pemegang Delivery Order (DO) sawit yang mengaku klimpungan karena saat membeli dari petani harganya tinggi namun setelah di setor ke pabrik ternyata harga jual anjlok drastis.
“Belum lagi upah biaya bongkar muat sawit ke mobil, bensin, dan biaya lain untuk menampung sawit. Sekarang kami menunggu informasi pencairan dari pabrik, kalau belum ada info pencairan kita belum berani bayaran takut nambok dan tambah rugi lagi,” katanya.
Meskipun demikian, Ia mengaku tetap menerima sawit dari petani, tentunya dengan harga yang berlaku saat ini. Ia juga menambahkan jika jumlah sawit dari petani jauh berkurang lantaran petani banyak yang masih enggan memanen sawitnya.
(dra)